SULTAN DARAMPA
TA MIS PID P3MD SULTRA
Rauta. Lembah yang berada di seberang Danau Towuti (Sulawesi Selatan), yang diantarai wilayah Kolaka Utara dari arah barat, Konawe Timur di tenggara, serta batas Sulawesi Tengah di timur laut.
Dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Konawe, Sultra, maka Rauta memiliki tujuh desa dan kelurahan, Kelurahan Rauta, Desa Parundoka, Desa Tirawuna, Desa Tangola, Desa Walandue, Desa Tetenggowuna, dan satu desa yang belum mendapat pengakuan.
Dalam perkembangannya, sebagaimana desa-desa di dataran tinggi, maka rumah-rumah penduduk itu mengumpul dalam satu kawasan, atau satu lembah, sementara yang di kaki-kaki bukit itu lebih banyak dihiasi rumah-rumah kebun, bahkan sebagian besar aktivitas warga lebih banyak dihabiskan di rumah kebun, apalagi siang hari, sehingga pada siang hari kecuali Hari Jumat atau Minggu, terlihat sepi melompong.
Kondisi alam yang masih subur, bertanah merah, merupakan pertanda kesuburan tanah, sehingga selain menyimpan bahan ore (nikel), juga cocok untuk perkebunan khusus komoditi ekspor, seperti lada, cengkeh, coklat, dan lainnya.
Rauta dikepung oleh gugusan gunung batu yang melingkarinya, menjadi benteng alam yang sulit ditembus, baik dari via darat dengan kondisi jalan yang terjal dan sempit utamanya bagi kendaraan motor dari Batas Sulteng - Kecamatan Wiwirano (Konawe Utara), maupun untuk udara termasuk pesawat helikopter, sementara jalur dari Danau Towuti juga masih terkesan sulit karena harus menembus dulu Kabupaten Luwu Timur, Kecamatan Nuha dan Towuti.
Sungai-sungai mengalir dengan derasnya, terlihat lapisan-lapisan batu alam di dasar sungai pada area penyeberangan menjadi spirit tersendiri, dan jika lelah menggayut, maka pilihan berenang menjadi alat penyegar badan sebelum melanjutkan perjalanan.
Rauta menjanjikan harapan dan sejuta asa meski tidak didukung oleh gelombang telekomunikasi yang memadai. Tapi dilengkapi sistem penerangan yang terus-menerus, turbi atau pembangkit listrik tenaga mikrohidro pada setiap desa dan dusun.
Hal itu dapat dilihat dari setiap tipologi desa-desa yang dikunjungi, yang nyaris warganya pada siang hari tidak dijumpai di pemukiman, karena mereka disibukkan pohon-pohon lada di kebun mereka masing-masing.
Pagi harinya, perjalanan dilanjutkan ke desa lain, yaitu Desa Tanggola.
Desa Tangola
Bersama warga dengan aparat desa. Namun Kadesnya tidak hadir, diwakili oleh Ketua BPD. Dari Ketua BPD ini mendapatkan keterangan.
Bahwa DD tahun 2017 sebanyak Rp 773 juta lebih yang dipergunakan untuk pembuatan jalan, pembenahan kantor desa, serta pembuatan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) dengan kapasitas 50 KPA (dynamo), dengan melayani 40 rumah, dan semuanya berjalan lancar, dan ke depan untuk diserahkan ke BUMDes untuk keberlanjutannya.
BUMDesnya juga sudah mengelola unit usaha, yakni jual beli Saprodi, kebutuhan pertanian, utamanya untuk jual beli pupuk kandang. Dimana modal pertamanya sekitar Rp 20 juta.
Ia juga berharap bahwa tahun 2018, DD akan digunakan untuk sistem peternakan skala besar, karena didukung oleh padang-padang savanna yang luas.
Desa Tirawuna
Desa ini menjadi tujuan utama kunjungan kami, sehingga pelaksanaan diskusi yang dilaksanakan malam hari lantaran warga dusun-dusun (desa) pada sibuk berkebun.
Desa ini dikenal sebagai penghasil lada terbesar untuk Sulawesi, sehingga wajar kalau warganya yang merupakan multikultur rata-rata memiliki asset dan pendapatan yang tergolong kaya.
DD selama 2015 sampai 2017, memang lebih banyak di peruntukkan untuk pembangunan infrastruktur, utamanya jalan tani / kebun.
Dengan menggunakan DD 2017 sebesar Rp 100 juta diperuntukkan untuk pembuatan irigasi dengan panjang saluran 500 meter, dengan mengairi 20 hektar sawah.
BUMDesnya juga sudah melakukan kegiatan usaha, yakni jual beli pupuk, dimana belinya dari kota (Malili, Kab.Luwu Timur) sebesar Rp 28 ribu perzak, maka di jualnya sebesar RP 30 ribu perzak. Kalau pedagang lain, dibeli petani sebesar Rp 33 ribu perzaknya.
DD tahun depan, akan lebih banyak diarahkan pada peningkatan ekonomi, misalnya pembuatan irigasi tambahan pada sawah-sawah puso atau tidak produktif selama ini, apalagi sumber-sumber air yang mengelilingi lembah tertua di Rauta ini sangat potensial untuk sistem pertanian intensif.
Desa Paradongka
Letaknya cukup paling jauh, namun paling dekat dengan poros Danau Towuti (Sulsel), sehingga semua warganya ini belanja kebutuhan sehari-hari dan jual hasil buminya itu di seberang danau, di Perkampungan Towuti, atau lebih jauh lagi di pasar kecamatan, Nuha, atau Kota Malili, ibukota Kab.Luwu Timur.
Paradongka berpenduduk sektiar 317 jiwa, dengan 107 KK, yang terdiri atas tiga dusun. Nyaris 99 persen penduduknya adalah berkebun, kebun lada, bahkan beberapa rumah tangga disini memiliki 1000an pohon merica.
Harga lada terakhir berkisar Rp 65 ribu, yang membuat petani lada tiba-tiba kayak mendadak.
DD 2015 yakni sebesar Rp 317 juta, dengan peruntukkan pembangunan balai desa sebesar Rp 200 juta, selebihnya adalah pembelian mobile dan lainnya.
DD 2016, sebesar Rp 644 juta, yang diperuntukkan untuk jalan usaha tani, dan dekker.
Sementara BUMDesnya sudah mengelola uang Rp 20 juta untuk biaya pelatihan bagi tiga orang pengurus BUMDes, dan tahun itu juga bantuan kepada Gapoktan sebesar RP 18 juta untuk kegiatan beli jual saprodi.
DD 2017, masih tetap sama, yakni lebih banyak diperuntukkan untuk kegiatan infra, sehingga DD yang berkisar Rp 773 juta itu terkuras untuk jalan tani.
2018, mereka bercita-cita untuk membuat sekolah lada, dimana para petani lada di seluruh Indonesia dapat belajar disini, baik cara menanam lada, merawat, atau membuat demplot khusus.
Desa Walandaue
Desa ini berada di tengah-tengah diantara bebera desa di Kecamatan Rauta, penduduknya juga lebih banyak mengandalkan hidupnya dari perkebunan lada.
Yang menarik gagasan dari desa ini adalah pada DD 2018 tahap dua, akan menggunakan anggaran Rp 53 juta untuk pengadaan bibit sapi. Ini sesuai dengan kondisi lahan-lahan rumput yang luas di dalam wilayah desa tersebut, dimana batas desa dipagari oleh hutan-hutan alam yang sulit ditembus sekalipun itu hewan atau sapi.
Anggota unit SPP yang dikelola melalui BUMDes sudah bergulir dengan baik dari modal yang disertakan sebesar Rp 100 juta. Saat ini dana sudah bergulir sekitar Rp 75 juta, dan sisanya Rp 25 juta diperuntukkan untuk pinjaman atau antisipasi kegiatan social.
Pihaknya juga sudah mendirikan PLTMA (turbin) dengan anggaran Rp 420 juta dengan melayani 25 KK. Anggaran ini diambil dari DD 2017 yang sebesar 760 juta, dan selebihnya di peruntukkan untuk jalan desa sepanjang 1,8 Km dengan besaran anggaran 1,8 Km.
Demikianlah menikmati hijaunya Rauta yang tengah diancam sistem perkebunan monokultur, lada, dan ancaman sawit dari arah Konawe Utara.