Suasana
lokakarya Ketahanan Masyarakat Desa yang dilaksanakan di Jambi, Minggu
(30/6/2019).
JAMBI- DesaSultra. Dari Provinsi Jambi, Kementerian Desa
PDTT-RI ingin mencetak lebih banyak lagi desa-desa yang moderen, tapi tidak
meninggalkan identitas Indonesia-nya. Desa yang mendunia. Di mana masyarakatnya
telah bertransformasi dari ketertinggalan menuju masyarakat yang maju dan
moderen.
DR Agus Supriyadi Harahap M.Si, mengutarakan hal tersebut
ketika tampil menjadi salah satu pembicara di Lokakarya Ketahanan Masyarakat
Desa yang diselenggarakan Direktorat Jenderal PPMD-Kemendesa PDTT di Provinsi
Jambi, Minggu (30/6/2019). Dosen yang aktif mengajar di Institute Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Jawa Barat, memompa semangat kepala desa,
pendamping desa, LKD, dan Dinas PMD provinsi dan PMD kota/kabupaten Jambi yang
menjadi peserta lokakarya.
Agus - sapaan akrab sang doktor, menggugah rasa memiliki
seluruh perangkat desa dan pegiat desa yang ada di Jambi. Desa, katanya, adalah jati diri bangsa ini.
Banyak nilai kebaikan yang tidak bisa ditemukan di kota, tapi tetap lestari di
desa. “Kita yang sekarang hadir disini, merupakan orang-orang beruntung.
Kenapa, sebagian besar berasal dari desa. Mari pertahankan desa dan bangun
ketahanan di desa,”ajak Agus menyerukan.
Bicara ketahanan desa dan masyarakat, lanjut Agus, maka
tak bisa lepas dari kelembagaan desa. Harusnya keberadaan desa di era sekarang
semakin kuat dan power full. Tapi itu tidak terjadi. Justru sebaliknya, desa
semakin lemah. Ini dikarenakan kelembagaan di desa justru dipinggirkan.
“Olehnya itu, kelembagaan desa harus diperkuat dan kita
sadari sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai kebaikan,”ajak dosen yang sengaja
didatangkan dari IPDN Jatinangor untuk mengisi materi lokakarya.
Desa sejak dulu telah berotonomi. Bahkan sejak republik
ini terbentuk. Otonomi desa bukan otonomi warisan atau pemberian. Berangkat
dari perspektif ini, tak ada pembenaran jika keleluasaan desa untuk mengatur
dan mengurus dirinya sendiri masih saja dibatasi. Hak rekognisi dan
subsidiaritas secara penuh mesti diterima desa.
“Desa sudah ada sejak dulu. Melalui kesempatan ini, saya
mengajak kita semua untuk memajukan desa sesuai potensinya masing-masing. Ada
Dana Desa yang bisa kita jadikan modal untuk membangun dan memberdayakan
masyarakat,”kata Agus.
Kelembagaan desa yang sebenarnya lebih pada nilai-nilai.
Bukan struktural atau kelembagaan resmi. Seperti nilai kebersamaan atau gotong
royong, sejak dulu sudah ada di desa. Melalui nilai itulah, masyarakat desa
bersepakat dan bermusyawarah dalam menentukan arah pembangunan desa.
Bahkan, sambung Agus, 5 sila Pancasila ada di desa. Semua
bisa ditemukan di desa. Mulai dari Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang
beradab, persatuan dan kesatuan, permusyawaratan rakyat, dan keadilan sosial.
“Ini mesti menjadi renungan kita bersama. Kenapa kok desa kita masih bergerak
lambat kemajuan pembangunannya,”gugahnya.
Jangan sampai nilai-nilai itu tergerus arus globalisasi.
Desa boleh moderen dan mendunia, tapi tidak meninggalkan ciri khas.
Masyarakatnya harus melek ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap saja
berbudaya dan berbudi pekerja yang luhur.
“Masyarakat desa saling terkait satu sama lain. Atas
dasar itulah sehingga kekerabatan dan ikatan emosionalnya kuat,”ujarnya.
Seperti desa-desa
di Jepang. Mereka maju tapi tidak meninggalkan peradaban yang sudah ada.
Indonesia sebaliknya, cenderung meninggalkan ciri khasnya. Tugas perangkat desa
dan pegiat desa, mesti memproteksi hal ini.
“Budaya dan tradisi yang sudah tumbuh lesteri di desa,
harus kita pertahankan. Kita ubah menjadi potensi ekonomi dan budaya, sehingga
dapat mendatangkan pendapatan bagi desa dan masyarakat, melalui program desa
wisata dan desa digital,”dukung sang dosen terhadap program dedi dan dewi yang
akan dikembangkan Kemendesa.
Banyak peserta yang tertarik dengan paparan yang
disampaikan Agus. Salah satunya Sekretaris Desa Rantau Benar, Ari Yanto, dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dia
mengakui, warga desanya sangat menunjung tinggi nilai gotong royong dalam
bekerja satu sama lainnya. Desanya juga memiliki potensi SDM maupun SDA. Untuk
itulah mereka mengembangkan potensi itu.
“Penduduk desa kami ramah. Banyak kebun sawit mereka.
Kami rencananya, mengembangkan usaha BumDesa yang bergerak membeli sawit dari
petani. Ini juga memproteksi tengkulak. Bahkan, kami akan menjual ke pembeli
profesional, sebab SDM yang mengelola sawit sudah tersedia. Banyak warga kami
yang memiliki sertifikat keahlian dalam mendeteksi sawit berkualitas,”katanya.
Hal senada disampaikan warga desa lainnya. Mereka sepakat
bahwa nilai-nilai di desa mesti dilestarikan. Desa dalam mengelola anggaran,
harus memperhatikan pelestarian budaya. Melalui pelestarian budaya ini, digali
potensi untuk mendatangkan PAD bagi desa.
“Kami sepakat agar desa menggali potensinya sesuai dengan
kondisi alamnya. Apakah potensi SDM, SDA bahkan potensi buatan. Kita mesti
berinovasi dalam menggali potensi desa,”kata Arif, perwakilan dari dari salah
satu desa di Kabupaten Muaro Jambi.
Pada lokakarya kali ini di Jambi, pihak BNI 46 Jambi
turut hadir. Seluruh peserta, umumnya yang berasal dari desa dan LKD, meminta
BNI memberikan peluang pinjaman dana kepada desa mereka. Termasuk support dana
CSR kepada desa-desa di Jambi.
Pihak BNI pun menyambut baik keinginan perwakilan desa.
BNI menyatakan, selama ini sudah banyak bekerja sama dengan desa-desa dalam
pengembangan potensi desa maupun memberi suntikan dana ke BumDesa.
“BNI bukan orang baru dalam mendorong kemajuan desa.
Termasuk di bidang pariwisata atau bidang usaha lainnya. Desa Ponggok yang
sudah beromzet miliaran rupiah dari objek pariwisatanya, kami yang berikan dana
supportnya,”jelas pihak BNI 46 Jambi yang diwakili divisi hubungan kelembagaan.
Pihak BNI dan desa-desa di Jambi akhirnya berkomitmen
bekerja sama untuk ke depan dalam memajukan desa, dengan memenuhi persyaratan
yang disyaratkan. Termasuk pemberian CSR dan bentuk kerja sama lainnya. (rilis
media)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar