Susana saat berlangsung materi dalam kelas
BANDUNG-DesaSultra. Dua pemateri ulang dihadirkan
Direktorat Jenderal PPMD Kemendesa di kegiatan “Penguatan LKD Dalam Mendorong
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan” yang
dilaksanakan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/7/2019).
Kedua pemateri bergelar doktor ini sengaja didatangkan
untuk sharing ilmu dan referensi dengan jajaran Lembaga Kemasyarakatan Desa
(LKD), kepala desa, dan pendamping desa sebagai peserta.
Kedua pemateri yakni Dr Agus Supriyadi Harahap M.Si dan
Sutiyo M.SI.,Ph.D. Saat ini Agus maupun Sutiyo sama-sama berstatus sebagai
tenaga pengajar di IPDN Jatinangor, Jawa Barat.
Agus Supriyadi Harahap dalam materinya berjudul
Kelembagaan Desa, menekankan beberapa hal mendasar tentang LKD. Menurutnya, LKD
terbagai dalam dua kategori. Ada LKD formal dan ada LKD non formal.
Sebagaimana yang telah diketahui secara luas oleh
masyarakat, LKD formal terdiri dari RT/RW, Karang Taruna, LPM, TP-PKK.
Sedangkan LKD non formal sangat banyak, seperti LKD berbasis budaya,
aktivitas/rutinitas, maupun berbasis agama.
“LKD sangat strategis perannya dalam mendorong
keterlibatan masyarakat dalam setiap program pembangunan dan pemberdayaan di
desa. Untuk itulah, LKD mesti memberi sumbangsih yang besar sebagai mitra kerja
pemdes dan BPD,”gugah Agus di hadapan peserta kegiatan.
Dulunya di desa, lanjut Agus, apalagi desa yang potensi
SDA-nya pertanian dan perkebunan, ada LKD yang mengurusi pembagian air. Di sana
berhimpun tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tokoh pemuda.
Pembagian air diatur ke sawah dan kebun-kebun warga desa. Sistemnya adil dan
merata yang disepakati melalui musyawarah mufakat dalam penentuan jadwal
giliran. Model seperti ini, sebut Agus, sangat kaya dengan nilai-nilai
kebersamaan dan persaudaraan.
“Negara kita ini memiliki budaya dan tradisi yang
mengakar. Sarat dengan nilai luhur Pancasila,”papar Agus.
LKD ada di masyarakat sejak desa belum terbentuk, dan
bahkan kala republik ini belum terbentuk. Terutama LKD-LKD non formal.
Berangkat dari situlah sehingga dibentuk LKD formal. Dan melalui LKD,
partisipasi masyarakat tumbuh dalam perencanaan pembangunan yang berbasis
sosial.
Seperti salah satu tradisi di Sumatera Utara yang dikenal
dengan Lubuk Larangan. Yaitu tradisi menangkap ikan ramai-ramai (pesta) di sungai dengan memakai jaring atau
jala. Pada 2012 lalu, cerita Agus, diadakan kegiatan Lubuk Larangan oleh desa
setempat. Sebelum tiba hari H, ikan sudah dikembangbiakan di sungai setahun
sebelumnya. Setiap masyarakat yang menjadi peserta, diminta membeli tiket Rp.50
ribu/orang.
“Pesertanya ribuan orang dan umumnya diadakan di hari
libur lebaran. Ikan yang berhasil masuk jaring, dimasak bersama di dekat
sungai, lalu dimakan bersama. Sebagian ikan lagi dibawa pulang ke
rumah,”kenangnya.
Dari tradisi budaya ini, terkumpul dana Rp.600 juta. Dana
itu kemudian dibangunkan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya di desa
setempat. Makna dari pesta tangkap ikan, tambah Agus, bagaimana menciptakan
budaya yang menjadi hiburan sekaligus membangun desa.
“Model pembangunan begini yang mesti dipertahankan di
desa-desa, termasuk di Jawa Barat. Silakan LKD menjadi trigger-nya (pemicu),”
sarannya. Peran LKD dapat melestarikan nilai-nilai budaya. Jika ini terjadi,
gejolak-gejolak sosial di masyarakat semakin berkurang.
Hal yang tidak berbeda jauh disampaikan Sutiyo. Materi
doktor satu ini berjudul Pemberdayaan Desa Berbasis Lingkungan. Kurun 5 tahun
ini, atau setelah terbitnya UU Desa No.6/2014, desa telah diberi dana stimulan
berupa dana desa. Ini peluang bagi desa dalam mengatur dan mengelola urusan
rumah tangganya sendiri sesuai aturan yang ada.
Desa-desa, kata dia, harus mampu menggali potensinya
untuk mendatangkan PAD bagi desa. Jika ini dilakukan, desa akan berkembang dan
maju, masyarakatnya sejahtera.
“Pemdes ibarat telapak tangan. Dia-lah menjadi penentu
arah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Yang belum berdaya menjadi
berdaya, yang masih miskin menjadi tidak miskin lagi. Dan empat prioritas
penggunaan dana desa sangat tepat untuk kebutuhan masyarakat kita,”katanya.
Peran LKD menjadi sentral. LKD memainkan perannya dalam
memberi usulan dan saran dalam perencanaan pembangunan dengan pelibatan
masyarakat. Seperti dalam pengelolaan destinasi wisata. Mestinya, desa-desa
jangan terus mengandalkan destinasi wisata
berbasis spot foto. Itu dapat bertahan hanya dalam tenmpo dua tahun,
sesudah itu menjadi lesu.
“Sebaiknya mengandalkan wisata berbasis alam. Model
destinasi ini akan bertahan lama. PAD desa terus mengalir,”kata Sutiyo.
Minat masyarakat era sekarang dalam berwisata, tidak lagi
ke perkotaan. Mereka cenderung ke desa-desa. Berwisata di alam, dan menginapnya
lebih ke home stay. Peluang ini mesti ditangkap oleh desa.
Seperti di Jepang. Dulunya ada salah satu desa yang tidak
laku menjual buah melon. Padahal tanaman melonnya banyak sekali. Ini karena
hanya tekstur dan baunya saja yang harum, tapi rasa melon tidak manis.
Singkat cerita, dilakukan perkawinan silang antar melon
hingga beberapa kali percobaan dalam waktu yang lama. Alhasil, didapatkan varietas
unggul dan rasanya sangat manis. “Kini, desa itu menjadi kaya dan sangat
terkenal dengan buah melonnya. Bibitnya tak bisa dijual, kecuali buahnya.
Cerita ini sangat penuh makna, bagaimana penduduk desa, pemdes, dan LKD
bersusah payah melakukan perwakinan silang. Ini menjadi contoh bagi kita di
Indonesia, tidak terkecuali di Jawa Barat,”.
Di Kabupaten Bandung, pemanfaatan hutan atau DAS Citarum
dan anak sungai lainnya, bisa menjadi daya tarik untuk wisata. Desa-desa
silakan memanfaatkan alam sebagai lokasi wisata baru. Di samping itu, desa
wisata juga mesti dipadukan dengan desa digital. Karena, digital telah menjadi
kebutuhan di era globalisasi sekarang.
Mendengar penjelasan dari kedua pemetari, peserta
workshop sangat antusias untuk melakukan sharing. Mereka berharap penanganan
pencemaran limbah Citarum lebih digencarkan lagi. Apalagi sungai ini telah
menjadi ikon Jawa Barat dan khususnya bagi Bandung.
“Dulu kami masih bisa mandi-mandi di sungai. Sekarang
sudah tidak lagi, karena baunya sangat tak sedap lagi. Termasuk pada perayaan
17 Agustus, sudah tidak ada lagi lomba balap perahu. Karena masyarakat tak
tahan dengan bau sungai,”kata salah seorang kades dari Kabupaten Bandung.
Masyarakat sangat terbuka untuk menjaga lingkungan.
Asalkan pemerintah juga memikirkan, bagaimana pola kepada pemberdayaan
masyarakat dari sisi ekonomi, politik, dan sosial budaya. (rilis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar