Anex Wong 'La Taane'
TA-TTG BUSEL
Sudah tidak berbilang tahun, dan tidak ada lagi generasi saat ini yang mengingat dengan persis bagaimana Pulau Kadatua, khususnya Desa Kaofe Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara menghadapi hari-harinya tanpa air tawar.
Bulan berlanjut, dan tahun berganti. Air tawar menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawarkan lagi sehingga untuk memenuhinya terpaksa harus dipasok dari daratan besar. Itulah kebiasaan yang telah menelan ratusan tahun.
Namun semenjak adanya Program Dana Desa dari Kemendes, PDT dan Transmigrasi RI, maka warga mulai berbenah. DD tahun 2016 sebesar Rp 498 juta lebih untuk bangun embung buatan tersebut. Kemudian dilanjutkan untuk perpipaan ke rumah-rumah penduduk dan pengadaan tandon sebesar Rp 635 juta lebih pada anggaran DD 2017.
Luas 'embung' alias bak yakni 6 meter x 10 meter, dan tinggi 3 meter, untuk menampung air tawar dari sumber mata yang dialirkan melalui tiga buah mesin. Dengan demikian maka 191 rumah yang ada di Desa Kaofa sudah menikmati air tawar langsung dari dalam rumahnya.
Sumia, Kepala Desa Kaofa menceritakan bahwa sumber air yang digunakan untuk mengisi bak penampung tersebut berasal dari mata air yang berjarak sekitar 800 meter dari pemukiman warga, namun di wilayah Desa Uwemaasi, pemekaran dari Desa Kaofe.
"Volume air pada mata air tersebut tidak berkurang (kedalaman air sekitar 1,5 meter) meskipun disedot dengan 4 mesin (3 dari desa Kaofe dan 1 dari Desa Uwemaasi) secara bersamaan, tetap tidak akan habis," lanjutnya.
“Meskipun hanya terisi setengahnya, sudah dapat memenuhi kebutuhan air seluruh warga desa yang berjumlah 191 rumah tangga, itupun tidak habis di baknya,” terangnya.
Untuk mengantisipasi kekurangan air pada saat listrik padam (PLN hanya menyala pada malam hari, mulai pukul 18.00 sampai 06.00), maka Pemdes mengalokasikan dana untuk pengadaan tandon ukuran 650 liter setiap rumah (190 unit).
Pada awal bulan Januari 2018 lalu, pengelolaan air ini diserahkan ke BUMDes untuk pengelolaannya, dan sesuai dengan keputusan musyawarah desa, setiap rumah (pelanggan) dikenakan biaya beban Rp 5.000 dan pemakaian air Rp 1.000/m3. Berdasarkan catatan pengelola, dalam setiap bulannya, air digunakan warga rata-rata 2000 m3.
Soal ketersediaan air ini stabil karena disekitar mata air tersebut terdapat hamparan hutan alam yang rimbun dan tidak terjamah oleh penduduk setempat, karena dianggap keramat, hutan larangan. (*)
TA-TTG BUSEL
Sudah tidak berbilang tahun, dan tidak ada lagi generasi saat ini yang mengingat dengan persis bagaimana Pulau Kadatua, khususnya Desa Kaofe Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara menghadapi hari-harinya tanpa air tawar.
Bulan berlanjut, dan tahun berganti. Air tawar menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawarkan lagi sehingga untuk memenuhinya terpaksa harus dipasok dari daratan besar. Itulah kebiasaan yang telah menelan ratusan tahun.
Namun semenjak adanya Program Dana Desa dari Kemendes, PDT dan Transmigrasi RI, maka warga mulai berbenah. DD tahun 2016 sebesar Rp 498 juta lebih untuk bangun embung buatan tersebut. Kemudian dilanjutkan untuk perpipaan ke rumah-rumah penduduk dan pengadaan tandon sebesar Rp 635 juta lebih pada anggaran DD 2017.
Luas 'embung' alias bak yakni 6 meter x 10 meter, dan tinggi 3 meter, untuk menampung air tawar dari sumber mata yang dialirkan melalui tiga buah mesin. Dengan demikian maka 191 rumah yang ada di Desa Kaofa sudah menikmati air tawar langsung dari dalam rumahnya.
Sumia, Kepala Desa Kaofa menceritakan bahwa sumber air yang digunakan untuk mengisi bak penampung tersebut berasal dari mata air yang berjarak sekitar 800 meter dari pemukiman warga, namun di wilayah Desa Uwemaasi, pemekaran dari Desa Kaofe.
"Volume air pada mata air tersebut tidak berkurang (kedalaman air sekitar 1,5 meter) meskipun disedot dengan 4 mesin (3 dari desa Kaofe dan 1 dari Desa Uwemaasi) secara bersamaan, tetap tidak akan habis," lanjutnya.
“Meskipun hanya terisi setengahnya, sudah dapat memenuhi kebutuhan air seluruh warga desa yang berjumlah 191 rumah tangga, itupun tidak habis di baknya,” terangnya.
Untuk mengantisipasi kekurangan air pada saat listrik padam (PLN hanya menyala pada malam hari, mulai pukul 18.00 sampai 06.00), maka Pemdes mengalokasikan dana untuk pengadaan tandon ukuran 650 liter setiap rumah (190 unit).
Pada awal bulan Januari 2018 lalu, pengelolaan air ini diserahkan ke BUMDes untuk pengelolaannya, dan sesuai dengan keputusan musyawarah desa, setiap rumah (pelanggan) dikenakan biaya beban Rp 5.000 dan pemakaian air Rp 1.000/m3. Berdasarkan catatan pengelola, dalam setiap bulannya, air digunakan warga rata-rata 2000 m3.
Soal ketersediaan air ini stabil karena disekitar mata air tersebut terdapat hamparan hutan alam yang rimbun dan tidak terjamah oleh penduduk setempat, karena dianggap keramat, hutan larangan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar