SULTAN DARAMPA
TA MADYA MIS-PID KPW 3 P3MD
SULTRA
Perjalananku kali ini
adalah mengunjungi desa-desa adat. Desa-desa yang masih kental mempertahankan
tradisi dan hak-hak tradisionalnya seperti yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 45.
Salah satu desa yang
menjami maklumat undang-undang tersebut adalah Desa Toladona Matanayo. Adalah desa
yang terletak di ujung timur daratan Buton Tengah. Terlihat sedikit hijau dari
biasanya sebagaimana kondisi dan suasana desa-desa pesisir sehari-hari. Musim
hujan menjadi factor penentu hijau dan rimbunnya desa pemekaran itu.
Selepas singgah dari
Kantor Camat SangiaWambulu, dimana Camat dan Sekcam lagi rapat di Kantor Bupati
meski sebelumnya sudah ada juga pemberitahuan atas kedatangan TAPP. Namun tetap
diterima oleh staf kecamatan dan sedikit mendapat penjelasan soal kunjungan
lapangan ini dimana salah satu desa dalam wilayah Kecamatan SangiaWambulu yang
mendapat kunjungan.
Memasuki Desa Tolandona
Matanayo yang dapat dijangkau dengan akses yang relatif mudah, jalan beraspal,
telah disambut oleh tokoh-tokoh masyarakat dan aparat desa dalam pakaian adat.
Dari arah depan, terlihat
sebuah bangunan yang cukup besar meski dalam kondisi darurat yang kemudian oleh
aparat desa dinamainya Kantor Desa Tolandona Matanayo. Di dalam gedung tersebut
juga dilengkapi dengan ruang pertemuan yang memuat kira-kira 40 – 60 kursi
dalam kondisi yang sederhana.
Mengawali diskusi, Sekdes,
seorang anak muda yang baru saja diangkat oleh Plt Kades atas Rembu Warga dan
Aparat Desa, membuka acara mewakili Plt.Kades yang masih berdinas di kantornya,
di Dinas Pertanian Tanaman Pangan.
Sekdes secara singkat
menjelaskan sebagai pengantar awal bahwa Desa Tolandona Matanayo relative masih
baru, karena hasil pemekaran dari Kelurahan Tolandona, sehingga segala
sesuatunya, utamanya sarana dan prasarana pemerintahan desa memang terlihat
darurat.
Meski demikian sudah ada
Kepala Desa defenitif hasil Pilkades. Tetapi baru sekitar dua tahunan lebih
efektif menjabat, dan telah mengelola Dana Desa tahun 2016 lalu, namun
menimbulkan konflik dengan warga, dimana warga menilai ada unsur penyelewengan
atau tidak transparannya pengelolaan Dana Desa 2016, sehingga memaksa Plt
Bupati Buteng Ali Akbar kala itu memberhentikannya sementara sebagai Kades
defentif.
Lalu Ali Akbar mengangkat
Plt Kades baru, Asman, yang waktu itu juga sebagai Camat SangiaWambulu. Meski
Camatnya sudah diganti, tetapi Asman tetap menjabat sebagai Plt Kades Tolandona
Matanayo yang juga memang mendapat restu dari perangkat adat dan warga
setempat.
Koordinator TAPM Kabupaten
Buton Tengah La Ode Hayati mengungkapkan bahwa prosesnya tengah ditanggulangi,
dan tak lama lagi soal LPJ 2016 yang merupakan syarat pencairan DD 2017 akan
segera diterima sehingga tidak terlalu mengganggu atau menghambat program
pembangunan dari DD 60 persen tahun 2017.
Kemudian TAPP meminta
penjelasan kepada warga, aparat desa dan tokoh adat soal potensi desa dan
hal-hal yang dapat dikembangkan ke depan, baik potensi sumber daya alam, maupun
potensi budaya, adat istiadat dan asal-usul Tolandona sebagai bagian dari
kekayaan intelektual yang dimiliki desa tersebut secara turun-temurun.
Pada kesempatan itu, Plt
Kades Tolandona Matanayo menuturkan bahwa desa ini memiliki empat dusun, yaitu
:
·
Bolongita
·
Peropa
·
Koresa
·
Nambo
Namun ketika ditanyakan
apakah asal usul kampong atau dusun ini sudah terceritakan juga dalam RPJMDes.
Serempak mereka menjawab, termasuk tokoh adat, pegawai syara, dan perangkat
adat Kesultanan Butun yang menyempatkan juga hadir mengatakan belum masuk.
Bahkan balik bertanya apakah itu memang dimungkinkan masuk dalam dokumen
tersebut, bukankah RPJMDes itu hanya memuat program pembangunan saja.
Maka saya jawab, bahwa hal
tersebut merupakan unsur pokok, atau sub pokok bahasan utama dalam dokumen
RPJMDes karena disitu bagaimana Undang-Undang No.6 tahun 2014 ini juga memuat
klausul hak-hak asal usul kampong dan hak-hak tradisional lainya.
Dengan penjelasan ini,
membuat diskusi semakan berkepanjangan, karena warga utamanya tokoh adat justru
antusias menjelaskan kekayaan budaya dan kearifan local yang dimilikinya selama
ini. Mereka kemudian menyadari bahwa
cerita tentang kampong, proses ritual, hingga adat isiadat perlu didokumenkan
dan dimasukkan dalam “lembaran dokumen desa” sehingga cerita atau adat tersebut
dapat terwarisi sampai di masa-masa mendatang, apalagi kalau tokoh adat atau
pencerita tutur ini sudah tidak ada lagi. Maka, satu-satunya metode yang dapat
dianggap melestarikan cerita atau sejarah asal usul desa tersebut adalah dalam
lembaran dokumen desa atau profile desa.
Salah satu contohnya
tentang kenapa dinamai Dusun Koresa,
karena menurutnya dulu, dulu sekali, hamparan tanah dan lahan-lahan ini memang
sudah terdiri dari lapisan bebatuan karang, sehingga tanahnya gersang. Dengan
kondisi seperti ini, maka kemudian pendiri kampong bersama-sama warganya
menyebut Koresa. Artinya Tanah Gersang.
Begitupula dengan Dusun Peropa. Dusun yang terletak
dibibir pantai ini masih memiliki hutan-hutan bakau yang masih bagus, dan telah
menjadi habibat ikan, kepiting dan ragam fauna laut lainnya. Dengan kelestarian
hutan bakau dengan menjadi gudang fauna laut, maka masyarakat menamainya Peropa,
Hutan Bakau. Memang diakui bahwa biota Peropa (bukau) dari tahun-tahun terus
mengalami dedradasi, merosot lantaran kebutuhan warga akan kayu, atau ramuan
rumah, maupun untuk kebutuhan kayu bakar.
Sedangkan Dusun Nambo dinamai demikian karena
alamnya yang menyerupai delta di daerah terluarnya sehingga menyerupai kolam
raksasa yang berdampingan dengan pemukiman penduduk. Embung yang berisi air
laut ini dulunya merupakan tempat pemancingan, bahkan sampai sekarang masih ada
beberapa titik yang sangat strategis untuk pemancingan, apalagi kalau pasca
pasang naik, sehingga ikan-ikan yang masuk dalam perangkap Embung ini menjadi
rezeki tersendiri bagi warga yang memancing.
Makanya pada malam hari,
utamanya pada bulan terang dimana banyak nelayan tangkap justru tidak melaut
menyempatkan diri untuk mancing disini. Nambo artinya pemancingan.
Selain ketersediaan sumber
daya alamnya, Tolandona juga telah menyiapkan diri untuk mendirikan institute,
pusat pengajaran kebudayaan Butun. “Melalui DD 2018 mendatang, kami usulkan
untuk membuat baruga,” kata tokoh adat setempat. Baruga ini selain untuk
kepentingan ritual dan upacara keagamaan, juga diperuntukkan untuk kelas
pengajaran dan Pendidikan budaya.
Mahasiswanya berasal dari
warga Desa Tolandona Matanayo, maupun desa dan kelurahan di sekitarnya yang
ingin mendalami Kebudayan Butun. Dosen pengajarannya berasal dari tokoh-tokoh
adat, budayawan, pegawai syara, maupun pengurus Masjid Agung Keraton Butun,
serta pengurus Kesultanan Butun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar