ProFiles

ProFiles

Jumat, 25 Agustus 2017

SEKOLAH ADAT DARI TOLANDONA MATANAYO



SULTAN DARAMPA
TA MADYA MIS-PID KPW 3 P3MD SULTRA

Perjalananku kali ini adalah mengunjungi desa-desa adat. Desa-desa yang masih kental mempertahankan tradisi dan hak-hak tradisionalnya seperti yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 45.

Salah satu desa yang menjami maklumat undang-undang tersebut adalah Desa Toladona Matanayo. Adalah desa yang terletak di ujung timur daratan Buton Tengah. Terlihat sedikit hijau dari biasanya sebagaimana kondisi dan suasana desa-desa pesisir sehari-hari. Musim hujan menjadi factor penentu hijau dan rimbunnya desa pemekaran itu.

Selepas singgah dari Kantor Camat SangiaWambulu, dimana Camat dan Sekcam lagi rapat di Kantor Bupati meski sebelumnya sudah ada juga pemberitahuan atas kedatangan TAPP. Namun tetap diterima oleh staf kecamatan dan sedikit mendapat penjelasan soal kunjungan lapangan ini dimana salah satu desa dalam wilayah Kecamatan SangiaWambulu yang mendapat kunjungan.

Memasuki Desa Tolandona Matanayo yang dapat dijangkau dengan akses yang relatif mudah, jalan beraspal, telah disambut oleh tokoh-tokoh masyarakat dan aparat desa dalam pakaian adat.

Dari arah depan, terlihat sebuah bangunan yang cukup besar meski dalam kondisi darurat yang kemudian oleh aparat desa dinamainya Kantor Desa Tolandona Matanayo. Di dalam gedung tersebut juga dilengkapi dengan ruang pertemuan yang memuat kira-kira 40 – 60 kursi dalam kondisi yang sederhana.


Mengawali diskusi, Sekdes, seorang anak muda yang baru saja diangkat oleh Plt Kades atas Rembu Warga dan Aparat Desa, membuka acara mewakili Plt.Kades yang masih berdinas di kantornya, di Dinas Pertanian Tanaman Pangan.

Sekdes secara singkat menjelaskan sebagai pengantar awal bahwa Desa Tolandona Matanayo relative masih baru, karena hasil pemekaran dari Kelurahan Tolandona, sehingga segala sesuatunya, utamanya sarana dan prasarana pemerintahan desa memang terlihat darurat.

Meski demikian sudah ada Kepala Desa defenitif hasil Pilkades. Tetapi baru sekitar dua tahunan lebih efektif menjabat, dan telah mengelola Dana Desa tahun 2016 lalu, namun menimbulkan konflik dengan warga, dimana warga menilai ada unsur penyelewengan atau tidak transparannya pengelolaan Dana Desa 2016, sehingga memaksa Plt Bupati Buteng Ali Akbar kala itu memberhentikannya sementara sebagai Kades defentif.

Lalu Ali Akbar mengangkat Plt Kades baru, Asman, yang waktu itu juga sebagai Camat SangiaWambulu. Meski Camatnya sudah diganti, tetapi Asman tetap menjabat sebagai Plt Kades Tolandona Matanayo yang juga memang mendapat restu dari perangkat adat dan warga setempat.


Koordinator TAPM Kabupaten Buton Tengah La Ode Hayati mengungkapkan bahwa prosesnya tengah ditanggulangi, dan tak lama lagi soal LPJ 2016 yang merupakan syarat pencairan DD 2017 akan segera diterima sehingga tidak terlalu mengganggu atau menghambat program pembangunan dari DD 60 persen tahun 2017.

Kemudian TAPP meminta penjelasan kepada warga, aparat desa dan tokoh adat soal potensi desa dan hal-hal yang dapat dikembangkan ke depan, baik potensi sumber daya alam, maupun potensi budaya, adat istiadat dan asal-usul Tolandona sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang dimiliki desa tersebut secara turun-temurun.

Pada kesempatan itu, Plt Kades Tolandona Matanayo menuturkan bahwa desa ini memiliki empat dusun, yaitu :
·         Bolongita
·         Peropa
·         Koresa
·         Nambo

Namun ketika ditanyakan apakah asal usul kampong atau dusun ini sudah terceritakan juga dalam RPJMDes. Serempak mereka menjawab, termasuk tokoh adat, pegawai syara, dan perangkat adat Kesultanan Butun yang menyempatkan juga hadir mengatakan belum masuk. Bahkan balik bertanya apakah itu memang dimungkinkan masuk dalam dokumen tersebut, bukankah RPJMDes itu hanya memuat program pembangunan saja. 

Maka saya jawab, bahwa hal tersebut merupakan unsur pokok, atau sub pokok bahasan utama dalam dokumen RPJMDes karena disitu bagaimana Undang-Undang No.6 tahun 2014 ini juga memuat klausul hak-hak asal usul kampong dan hak-hak tradisional lainya.

Dengan penjelasan ini, membuat diskusi semakan berkepanjangan, karena warga utamanya tokoh adat justru antusias menjelaskan kekayaan budaya dan kearifan local yang dimilikinya selama ini.  Mereka kemudian menyadari bahwa cerita tentang kampong, proses ritual, hingga adat isiadat perlu didokumenkan dan dimasukkan dalam “lembaran dokumen desa” sehingga cerita atau adat tersebut dapat terwarisi sampai di masa-masa mendatang, apalagi kalau tokoh adat atau pencerita tutur ini sudah tidak ada lagi. Maka, satu-satunya metode yang dapat dianggap melestarikan cerita atau sejarah asal usul desa tersebut adalah dalam lembaran dokumen desa atau profile desa.

Salah satu contohnya tentang kenapa dinamai Dusun Koresa, karena menurutnya dulu, dulu sekali, hamparan tanah dan lahan-lahan ini memang sudah terdiri dari lapisan bebatuan karang, sehingga tanahnya gersang. Dengan kondisi seperti ini, maka kemudian pendiri kampong bersama-sama warganya menyebut Koresa. Artinya Tanah Gersang.

Begitupula dengan Dusun Peropa. Dusun yang terletak dibibir pantai ini masih memiliki hutan-hutan bakau yang masih bagus, dan telah menjadi habibat ikan, kepiting dan ragam fauna laut lainnya. Dengan kelestarian hutan bakau dengan menjadi gudang fauna laut, maka masyarakat menamainya Peropa, Hutan Bakau. Memang diakui bahwa biota Peropa (bukau) dari tahun-tahun terus mengalami dedradasi, merosot lantaran kebutuhan warga akan kayu, atau ramuan rumah, maupun untuk kebutuhan kayu bakar.

Sedangkan Dusun Nambo dinamai demikian karena alamnya yang menyerupai delta di daerah terluarnya sehingga menyerupai kolam raksasa yang berdampingan dengan pemukiman penduduk. Embung yang berisi air laut ini dulunya merupakan tempat pemancingan, bahkan sampai sekarang masih ada beberapa titik yang sangat strategis untuk pemancingan, apalagi kalau pasca pasang naik, sehingga ikan-ikan yang masuk dalam perangkap Embung ini menjadi rezeki tersendiri bagi warga yang memancing.

Makanya pada malam hari, utamanya pada bulan terang dimana banyak nelayan tangkap justru tidak melaut menyempatkan diri untuk mancing disini. Nambo artinya pemancingan.  


Selain ketersediaan sumber daya alamnya, Tolandona juga telah menyiapkan diri untuk mendirikan institute, pusat pengajaran kebudayaan Butun. “Melalui DD 2018 mendatang, kami usulkan untuk membuat baruga,” kata tokoh adat setempat. Baruga ini selain untuk kepentingan ritual dan upacara keagamaan, juga diperuntukkan untuk kelas pengajaran dan Pendidikan budaya.

Mahasiswanya berasal dari warga Desa Tolandona Matanayo, maupun desa dan kelurahan di sekitarnya yang ingin mendalami Kebudayan Butun. Dosen pengajarannya berasal dari tokoh-tokoh adat, budayawan, pegawai syara, maupun pengurus Masjid Agung Keraton Butun, serta pengurus Kesultanan Butun.

Tim pengajar ini akan menyediakan kurikulum. “Modulnya sudah ada,” ungkapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENU UTAMA

Koptan Rumput Laut Buton Tengah Deklarasikan Gus Imin Presiden 2024

LAKUDO – SC. Sebanyak 36 orang anggota Kelompok Tani Rumput Laut Desa Matawine Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara me...