Keasrian Kampung di Papua
Satu langkah
kecil dan sederhana untuk membangun kesimbangan pembangunan desa membangun dan
membangun desa yakni menyampurkan kepercayaan kepada desa di satu sisi,
sekaligus melawan dengan cara mendidik desa agar mampu membelanjakan DD sembari
menghindarkan diri dari praktik korupsi. Kita tahu, salah satu indikator
penting bekerjanya Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa adalah
dilaksanakannya transfer fiskal dari pusat ke Desa yang disebut Dana Desa. Selama lima tahun terakhir pelaksanaan UU Desa, pemerintah secara konsisten meningkatkan jumlahnya. Untuk tahun 2017, pemerintah menggelontorkan Dana Desa
sebesar Rp60 triliun rupiah, sehingga setiap desa rata-rata menerima kurang
lebih Rp800-an juta rupiah. Pada tahun anggaran 2018 jumlahnya dinaikan dua
kali lipat.
Bagi sebagian kalangan, pelipatgandaan Dana Desa tersebut
dikhawatirkan menyuburkan praktik korupsi. Kekhawatiran ini memang cukup
berdasar. Terlebih ketika akhir-akhir ini banyak media nasional menyorot
praktik korupsi Dana Desa di beberapa belahan desa di Indonesia. Contohnya
kasus operasi tangkap tangan di Pamekasan Madura kira-kira dua tahun lalu. Belum lagi reda
pemberitaan kasus OTT di Pamekasan kala
itu, di Manokwari, dilaporkan adanya praktik pungutan liar Dana Desa di Kabupaten Sorong
Selatan dan Kabupaten Tamrow.
Sebagaimana laporan dari masyarakat yang diterima oleh
tim P3MD Kemendesa, PDT dan Transmigrasi Provinsi Papua Barat, waktu itu, dari 121 kampung di Kabupaten
Sorong Selatan 80 diantaranya terindikasi menyetor sejumlah uang sebesar Rp6
juta per kampung pada Satker Kabupaten tertentu. Tak tanggung-tanggung aliran
Dana Desa ke kabupaten tersebut dilakukan setiap termin pencairan Dana Desa
mulai tahun 2016. Jika ini benar, maka
potensi kerugian Negara dan desa mencapai hampir 1,5 miliar.
Kasus yang sama juga terjadi di Kabupaten Tamrow,
terindikasi ada aliran balik Dana Desa sebesar Rp10 juta per kampung ke
kabupaten paska pencairan. Informasinya, tindakan tersebut terindikasi terjadi
mulai tahun 2015 di setiap tahapan pencairan Dana Desa. Di Kabupaten ini
terdapat 26 distrik dan 216 kampung. Jika benar, semua desa dipotong Dana
Desanya, maka potensi kerugian lebih besar dari pada potensi kerugian di Sorong
Selatan di atas.
Praktik penyimpangan anggaran tersebut tentu sangat kita
sayangkan. Tapi, tidaklah bijak apabila menjadikannya sebagai ukuran mati
penyimpulan ketidaksusesan pelaksanaan UU Desa di Papua Barat. Artinya, bukan
kita mengenyampingkan praktik buruk pengelolaan Dana Desa tersebut, tapi di
sisi lain kita perlu memberi apresiasi pada Kampung di Papua. Korupsi harus
kita lawan, tapi pada saat yang sama tetap perlu mendorong pemanfaatan Dana
Desa pada Kampung secara tepat bagi kemaslahatan kampung. Jika kita terus
menerus meninabobokan pandangan kita secara negatif atas kapasitas dan
kapabilitas pemerintahan Kampung dan masyarakat Kampung di Papua, maka
ketertinggalan Kampung malah berpotensi semakin berkelanjutan.
Terlalu lama nalar kita menghukumi kalau masyarakat Papua
masih tertinggal karena rendahnya kemampuan sumber daya manusianya dan
rendahnya komitmen local good governance
di dalamnya. Rendahnya kualitas pendidikan dan pengetahuan aparatur maupun
karakter leadership Kepala Kampung yang regresif dan konservatif di Papua terus
dijadikan ukuran ketidakberhasilan pembangunan Kampung di Papua. Sikap sosial
kesukuan yang masih primitif juga selalu distigmakan sebagai penghambat
pelaksanaan pembangunan Kampung.
Di Papua, khususnya Papua Barat, sebenarnya tengah
bersemi tunas-tunas keberhasilan Kampung menyemai Dana Desa untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dan lingkungannya. Pertama, di Papua Barat sudah ada kampung melek perencanaan dan penganggaran partisipatif. Sebut
saja Kampung Mansinam. Dalam proses pembuatan formula perencanaan dan
penganggaran pembangunan desa, Kepala
Kampung selalu memulainya dari musyawarah dusun. Lalu diangkat ke level
musyawarah Kampung. Usulan program yang berdimensi supradesa, maka akan dibawa
ke tahapan musrenbang kecamatan dan kabupaten. Tidak hanya itu, Kampung ini
juga sudah mengenal, bahkan telah mempraktikkan kewenangan berskala lokal yakni
menerbitkan Rancangan Peraturan Desa perlindungan situs-situs sejarah, terutama
sejarah kali pertama pewartaan Injil oleh dua orientalis berkabangsaan Jerman,
Otto dan Glesser. Sayangnya, raperdes tersebut hingga kini tak dihiraukan oleh
pemerintah Kabupaten Manokwari.
Kedua, kampung
di Papua Barat juga sudah mengikuti desa-desa di Jawa dan Sumatera yang sudah
memajang papan informasi APBDesa. Contoh ini dapat kita temukan di Kampung
Macuan Distrik Masni. Tak tanggung-tanggung rincian kegiatan plus anggarannya
diinformasikan kepada publik dalam sebuah baliho berukuran jumbo. Inisiatif ini
tentu patut kita apresiasi karena memberikan pembelajaran penting bagi
terbentuknya karakter pemerintahan desa yang jujur dan terbuka kepada
masyarakatnya.
Ketiga, telah
bertunas kampung yang mengembangkan inisiatif membangun desa mandiri dengan
membentuk BUMDesa atau BUMKamp. Kampung Bakaro di Distrik Manokwari Utara sudah
membentuk kepengurusan BUMDesa dan mengeplot anggaran untuk penyertaan modal
desa pada BUMKamp-nya pada tahun anggaran 2018 mendatang. Bahkan untuk
pengembangan dan pemberdayaan lanjutan inisiatif pembentukan BUMKamp,
Pemerintah Kampung Bakaro difasilitasi pendamping desa setempat sudah
berinisiatif membangun kerjasama dengan Universitas Negeri Papua (UNIPA). Tentu
ini suatu insiaitif yang menarik karena akan menguatkan kolaborasi aktif desa
membangun dengan pendekatan kerjasama multipihak.
Tunas BUMKamp di Papua Barat yang sudah tumbuh dan bahkan
berbuah akan kita dapati di Kampung Sumber Boga. Kampung berhasil
mengalokasikan sebagian Dana Desanya untuk membangun beberapa unit pasar
kampung lalu menyerahkan pengelolaannya kepada BUMKamp. BUMKamp Sumber Boga
juga mengembangkan unit usaha sebagai penyalur pupuk bersubsidi bagi
petani.
Walau kadar kesuksesannya masih kecil, patut kita
apresiasi sebagai kemenangan dan unjuk konsistensi desa menjalankan UU Desa.
Maka, agar kemenangan tersebut semakin menyemarak, maka perlu dilipatgandakan
ke desa-desa lainnya. Langkahnya yaitu, pertama¸
memperkuat jejaring pembelajaran inovasi antarpendamping kampung dan
antarkampung sehingga akan terjadi pertukaran pengetahuan dan praktik inovasi
pembangunan kampung. Kedua, mendorong
komitmen kampung untuk mengalokasikan sumber dayanya pada program/kegiatan
prioritas kampung yang berorientasi pada program/kegiatan pembangunan yang
produktif dan inovatif. Ketiga,
menekan laju penyimpangan anggaran desa baik yang dilakukan oleh pemerintah
kampung maupun pemerintah supra kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar